Selasa, 31 Maret 2015. Saat diri ini tengah
beristirahat bersama seorang teman di bawah kerindangan pohon, melepas penat
setelah berhadapan dengan soal ujian – mungkin lebih tepatnya kami sedang
mengerjakan tugas lain untuk dikumpulkan – aku mendengar segerombolan mahasiswa
melantunkan lagu Buruh Tani, lagu
yang tak asing lagi bagi para mahasiswa. Lagu yang setia menemani para
mahasiswa ketika mereka turun ke jalan. Tanpa sadar, aku pun ikut bersenandung
menyanyikan lagu tersebut meski hanya terdengar oleh diriku sendiri. Sebuah
tanda tanya terbesit dalam diriku. Apa yang sedang mereka lakukan? Bukankah
minggu ini jadwalnya masa ujian? Minggu di mana seharusnya mahasiswa sibuk
dengan buku-buku mereka, mengulang materi mata kuliah yang telah mereka terima.
Tak terdengar pula desas-desus akan ada aksi.
Di tengah tanya tersebut, aku teringat
sebuah jarkoman pada sebuah grup di media sosial. Setelah itu, aku hanya
menganggukkan kepala, memperhatikan mereka. Seseorang dari mereka datang
menghampiri aku dan temanku, kemudian memberikan kami selembaran berisi
penjelasan apa yang sedang mereka perjuangkan. Beberapa hal yang ingin mereka
suarakan diantaranya, menuntut independensi birokrat kampus dan mahasiswa,
sterilisasi kampus dari kepentingan elit politik, serta menolak liberalisasi
perguruan tinggi yang terwujud dalam PK-BLU dan UKT.
Kita semua sudah tahu bahwasannya
memperoleh pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa terkecuali dan itu
telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31. Namun dalam kenyataannya,
masih ada warga negara yang kesulitan untuk memperoleh pendidikan. Tanpa
mengenyampingkan mereka yang berada di pelosok, kita mencoba fokus pada keadaan
di Jakarta, Ibu Kota Negara, tempat aku sedang menempuh pendidikan tingkat
tinggi.
Di perguruan tinggi ini, sejak tahun
2012, telah diberlakukan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk membayar biaya
kuliah. Di mana, semua biaya selama delapan semester dijadikan satu dan
kemudian dibagi delapan. Di tahun 2012 dan 2013, sistem UKT masih merata,
antarmahasiswa tidak memiliki perbedaan yang signifikan untuk UKT mereka. Terakhir,
pada tahun 2014, sistem ini diberlakukan dalam delapan golongan dan besaran
untuk tiap golongan ditentukan oleh pihak kampus, di mana bagi mahasiswa yang
diterima dengan jalur mandiri maka golongan satu sampai empat tidak diberlakukan.
Di jurusanku sendiri, mahasiswa dari jalur mandiri minimal mereka mendapatkan
UKT sebesar Rp5.000.000, padahal beberapa mahasiswa yang orang tuanya bekerja sebagai petani atau
sebagainya, sehingga biaya tersebut terbilang mahal bagi mereka. Oleh karena
niat mereka yang kuat untuk kuliah, mau tak mau mereka menerima biaya tersebut.
Meskipun demikian, pada masa bayaran, pasti ada saja mahasiswa yang kesulitan
untuk membayarnya.
Sepanjang perjalanan menuju gedung
perkuliahan, kita akan melihat mobil-mobil yang sedang diparkir di pinggir
jalan. Jalanan yang tidak terlalu besar namun muat untuk dua mobil berjalan itu
terasa semakin sesak ketika ditetapkan sebagai tempat parkir mobil. Dahulu,
jalanan ini dipakai untuk stand-stand bazar dan pejalan kaki. Akan tetapi,
sekarang, separuh badan jalan digunakan untuk parkir mobil dan separuh lagi
untuk mobil yang lewat sehingga, terkadang, perjalanan para pejalan kaki
menjadi terganggu. Parkiran tersebut tak seutuhnya dikelolah oleh pihak kampus
tetapi juga bekerjasama dengan pihak swasta. Bahkan, sebuah gedung yang
pembangunannya belom selesai karena satu dan lain hal dijadikan tempat parkiran
motor. Hal tersebut terasa tidak layak. Terkadang tersbesit pikiran, tak punya
lahan tapi buka parkiran umum, terlalu memaksakan.
Demikianlah, sedikit keadaan salah satu kampus
tempat para generasi bangsa ini menuntut ilmunya.
resah thd hal terdkt dg kita adlh ciri penulis yg baik. kamu sdh memulainya, tinggal perlu diasah saja. lanjutkan!
ReplyDelete