Wednesday, April 1, 2015

DEPANG



Hari ini, 23 Maret 2015, kami menjalankan perkuliahan di luar kelas. Kami diminta dosen untuk melakukan observasi di daerah Depang yang berada tidak jauh dari kampus kami. Berdasarkan hasil obesrvasi tersebut, kami mendapatkan penjelasan mengenai daerah Depang tersebut. Awalnya, Depang ini merupakan daerah proyek yang ditangani oleh Tommy Soeharto. Bahkan, tanahnya sudah sampai dipaku bumi namun tidak jadi karena tersangkut masalah yang berujung pada penangkapan Tommy Soeharto. Sekarang, daerah yang dipaku bumi tersebut dijadikan empang pemancingan.

Selain sebagai pemancingan, daerah Depang menjadi tempat tinggal warga yang hampir seluruhnya berasal dari luar kota. Sebagian besar warga tersebut bekerja sebagai pemulung, pekerjaan yang mungkin tidak pernah mereka harapkan ketika hendak tinggal di Jakarta. Mereka bekerja dari pagi hingga malam, hanya sebentar saja waktu yang mereka gunakan untuk beristirahat. Bahkan, anak-anak yang seharusnya duduk manis di bangku sekolah pun ikut bekerja sebagai pemulung.

Ketika kita memasuki kawasan tersebut, kita akan melihat rumah-rumah yang terbuat dari tripleks dan kardus. Jalanan tanah tak beraspal akan menjadi becek dan belok bila hujan mengguyur. Mereka memiliki sebuah mushollah yang bila Maghrib tiba penuh dengan anak-anak. Namun, kondisi airnya masih berbau. Mereka juga tidak memiliki saluran air yang baik sehingga, beberapa hari yang lalu, mereka telah berencana untuk memperbaiki saluran air tersebut.

Kesadaran warga atas kepemilikan tanah yang bukan merupakan haknya sering menimbulkan kekhawatiran pada diri mereka. Isu penggusuran pun telah menjadi hal yang biasa bagi mereka, demikian pula yang terjadi beberapa hari yang lalu. Siap tidak siap, bila itu terjadi maka mereka harus pindah meninggalkan tempat tersebut meskipun sampai sekarang, Alhamdulillah, isu tersebut tidak terjadi. Padahal, mereka membayar uang iuran atas nama keamanan setiap bulannya.

Lembaga daerah – RT dan RW – tidak berada di daerah mereka dan jarang berkunjung ke sana. Bantuan sembako murah dan sejenisnya tidak sampai pula kepada mereka. Sementara itu, di Depang sendiri tidak ada organisasi yang dapat menggerakkan semua itu, termasuk para pemudanya karena sibuk bekerja. Akan tetapi, setiap minggu, ada mahasiswa yang datang memberi bantuan untuk mendidik anak-anak di sana.

Tuesday, March 31, 2015

POLITISI DAN KOMERSIALISASI KAMPUS



Selasa, 31 Maret 2015. Saat diri ini tengah beristirahat bersama seorang teman di bawah kerindangan pohon, melepas penat setelah berhadapan dengan soal ujian – mungkin lebih tepatnya kami sedang mengerjakan tugas lain untuk dikumpulkan – aku mendengar segerombolan mahasiswa melantunkan lagu Buruh Tani, lagu yang tak asing lagi bagi para mahasiswa. Lagu yang setia menemani para mahasiswa ketika mereka turun ke jalan. Tanpa sadar, aku pun ikut bersenandung menyanyikan lagu tersebut meski hanya terdengar oleh diriku sendiri. Sebuah tanda tanya terbesit dalam diriku. Apa yang sedang mereka lakukan? Bukankah minggu ini jadwalnya masa ujian? Minggu di mana seharusnya mahasiswa sibuk dengan buku-buku mereka, mengulang materi mata kuliah yang telah mereka terima. Tak terdengar pula desas-desus akan ada aksi.

Di tengah tanya tersebut, aku teringat sebuah jarkoman pada sebuah grup di media sosial. Setelah itu, aku hanya menganggukkan kepala, memperhatikan mereka. Seseorang dari mereka datang menghampiri aku dan temanku, kemudian memberikan kami selembaran berisi penjelasan apa yang sedang mereka perjuangkan. Beberapa hal yang ingin mereka suarakan diantaranya, menuntut independensi birokrat kampus dan mahasiswa, sterilisasi kampus dari kepentingan elit politik, serta menolak liberalisasi perguruan tinggi yang terwujud dalam PK-BLU dan UKT.

Kita semua sudah tahu bahwasannya memperoleh pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa terkecuali dan itu telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31. Namun dalam kenyataannya, masih ada warga negara yang kesulitan untuk memperoleh pendidikan. Tanpa mengenyampingkan mereka yang berada di pelosok, kita mencoba fokus pada keadaan di Jakarta, Ibu Kota Negara, tempat aku sedang menempuh pendidikan tingkat tinggi.

Di perguruan tinggi ini, sejak tahun 2012, telah diberlakukan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk membayar biaya kuliah. Di mana, semua biaya selama delapan semester dijadikan satu dan kemudian dibagi delapan. Di tahun 2012 dan 2013, sistem UKT masih merata, antarmahasiswa tidak memiliki perbedaan yang signifikan untuk UKT mereka. Terakhir, pada tahun 2014, sistem ini diberlakukan dalam delapan golongan dan besaran untuk tiap golongan ditentukan oleh pihak kampus, di mana bagi mahasiswa yang diterima dengan jalur mandiri maka golongan satu sampai empat tidak diberlakukan. Di jurusanku sendiri, mahasiswa dari jalur mandiri minimal mereka mendapatkan UKT sebesar Rp5.000.000, padahal beberapa mahasiswa  yang orang tuanya bekerja sebagai petani atau sebagainya, sehingga biaya tersebut terbilang mahal bagi mereka. Oleh karena niat mereka yang kuat untuk kuliah, mau tak mau mereka menerima biaya tersebut. Meskipun demikian, pada masa bayaran, pasti ada saja mahasiswa yang kesulitan untuk membayarnya.

Sepanjang perjalanan menuju gedung perkuliahan, kita akan melihat mobil-mobil yang sedang diparkir di pinggir jalan. Jalanan yang tidak terlalu besar namun muat untuk dua mobil berjalan itu terasa semakin sesak ketika ditetapkan sebagai tempat parkir mobil. Dahulu, jalanan ini dipakai untuk stand-stand bazar dan pejalan kaki. Akan tetapi, sekarang, separuh badan jalan digunakan untuk parkir mobil dan separuh lagi untuk mobil yang lewat sehingga, terkadang, perjalanan para pejalan kaki menjadi terganggu. Parkiran tersebut tak seutuhnya dikelolah oleh pihak kampus tetapi juga bekerjasama dengan pihak swasta. Bahkan, sebuah gedung yang pembangunannya belom selesai karena satu dan lain hal dijadikan tempat parkiran motor. Hal tersebut terasa tidak layak. Terkadang tersbesit pikiran, tak punya lahan tapi buka parkiran umum, terlalu memaksakan.

Demikianlah, sedikit keadaan salah satu kampus tempat para generasi bangsa ini menuntut ilmunya.

Tuesday, March 17, 2015

CEMBURU



Cemburu...
Apa sebenarnya makna kata itu?

Ketika ku dengar seseorang berbicara tentangmu dan dia
Lalu diri ini seakan tak ingin mendengarnya
Apakah itu cemburu?

Atau, ketika aku lihat kau bercanda dengan yang lain
Lalu diri ini memalingkan wajahnya ke arah lain
Apakah itu cemburu?

Siapakah diri ini yang berani menyatakan cemburu?
Berhakkah diri ini untuk cemburu?
Padahal aku tahu, tak pernah ada ikatan apapun antara kita

MENGENGANG JUM'AT, 27 NOVEMBER 2014

Hari ini, sudah cukup pikiran negatif itu merasuk
Hari ini, sudah cukup air mata itu mengalir tanpa dapat dibendung

Hari ini, akhirnya ku putuskan untuk menatap ke depan
Hari ini, akhirnya aku tak peduli berapa banyak yang ada di jalan yang sama denganku

Ketika akhirnya keputusan telah ku ambil
Ku yakini, aku tak lagi melangkah mundur
Bukan untuk aku, dia ataupun mereka
Semua, lebih dari itu
Jurusan matematika yang lebih baik lagi

-BEMJ MATH-

Tuesday, January 27, 2015

LUAPAN RINDU



Lama kita tak bejumpa. Jarak dan kesibukan, kita anggap sebagai pembatasnya. Menunggu sang rindu meluap. Mencari waktu yang tepat. Alhamdulillah, hari ini, takdir Allah kembali mempertemukan kita. Memberikan kita ruang tuk meluapkan keriduan. Meski ada yang harus dikorbankan.

Hari ini. Tak hanya kita kembali dipertemukan. Berbagi cerita. Berbagi canda. Berbagi tawa. Namun, lebih dari itu. Menjadi peringatan bertambah usia salah satu di antara kita. Barakallah fii umriik, Pupuy. Semoga engkau selalu dalam lindungan Allah. Sayang Pupuy karena Allah.

Terimakasih untuk hari ini. Semoga ikatan ini semakin terjalin dengan kuat dan selalu dalam naungan-Nya. Semangat mengejar impian kita masing-masing. Sayang kalian karena Allah, Vhies.